Lucky Seven Adalah
Associated symbols & suchlike
Sloth is linked with the goat and the color light blue.
Nanatsu no Taizai (Jepang: 七つの大罪), yang diterbitkan di Indonesia dengan judul Seven Deadly Sins, adalah sebuah seri manga shōnen Jepang bergenre fantasi yang ditulis dan diilustrasikan oleh Nakaba Suzuki. Manga ini dimuat berseri dalam majalah Weekly Shōnen Magazine terbitan Kodansha sejak bulan Oktober 2012 hingga Maret 2020, dan bab-babnya telah dibundel menjadi empat puluh satu volume tankōbon. Manga ini menampilkan latar yang mirip dengan Eropa pada Abad Pertengahan, dan kelompok utamanya merupakan para ksatria yang melambangkan tujuh dosa besar.
Manga ini telah diadaptasi menjadi seri anime sebanyak tiga musim yang diproduksi oleh A-1 Pictures dan Studio Deen. Sebuah film berjudul The Seven Deadly Sins the Movie: Prisoners of the Sky ditayangkan perdana pada tanggal 18 Agustus 2018.
Manga ini telah dilisensi oleh Kodansha USA untuk diterbitkan dalam bahasa Inggris di Amerika Utara, sementara bab-bab tunggalnya dirilis secara digital oleh Crunchyroll di lebih dari 170 negara secara serentak ketika dirilis di Jepang. Netflix memperoleh hak streaming eksklusif bahasa Inggris untuk seri anime-nya, sedangkan Funimation saat ini memiliki hak distribusi video rumahannya.
Hingga tahun 2018, Seven Deadly Sins telah terjual sebanyak lebih dari 30 juta kopi dalam sirkulasi. Manga ini memenangkan Penghargaan Manga Kodansha ke-39 untuk kategori shōnen pada tahun 2015.
Seven Deadly Sins dahulunya merupakan sebuah kelompok aktif yang terdiri dari para ksatria di wilayah Britannia (ブリタニア, Buritania), yang dibubarkan setelah mereka dituduh akan menggulingkan Kerajaan Liones (リオネス王国, Rionesu Ōkoku). Mereka disebut-sebut dikalahkan di tangan para Holy Knight (Ksatria Suci), namun berbagai rumor terus menyebut bahwa mereka masih hidup. Sepuluh tahun kemudian, para Holy Knight merencanakan kudeta dan menangkap sang raja, dan menjadi para penguasa tiran di kerajaan. Sementara itu, putri ketiga raja Liones yaitu putri Elisabeth tidak sengaja mendengarkan rencana tentang kudeta yang diusung oleh kesatria suci. Raja pun memintanya untuk pergi mencari Nanatsu dan 6 kesatria lainnya untuk menghalangi rencana kudeta tersebut dan mengalahkan musuh kerajaan yang sebenarnya dan memohon bantuan kepada mereka untuk merebut kembali kerajaan dari para Holy Knight.
Seven Eleven Indonesia sempat menjadi salah satu tempat yang digandrungi masyarakat, khususnya kalangan muda untuk bersantai dan nongkrong dengan teman-temannya. Namun, seiring berjalannya waktu pamor Seven Eleven kian menurun.
Tahun 2017, tempat yang akrab disebut dengan Sevel ini resmi menutup semua gerainya yang ada di Indonesia. Padahal Sevel selalu ramai dengan anak mudah yang senang nongkrong.
Sebetulnya, apa penyebab Seven Eleven hengkang dari Indonesia dan bagaimana perjalanannya hingga sempat menjadi tempat nongkrong favorit anak muda? Yuk, ketahui selengkapnya dalam artikel berikut ini!
Baca Juga: Indomaret vs Alfamart: Dua Raja PAsar Ritel Modern, Mana yang Terbaik?
Your punishment in Hell will be
You'll be thrown into snake pits. Dance, sinner, dance!
SEVEN DEADLY SINS: SLOTH | Jenifer Ehiliani Nonitana, S.Si-Teol.
Dosa pertama-tama bukanlah soal perbuatan melainkan dosa adalah kuasa yang membuat manusia tunduk pada penghukuman, dan ini mengarah pada hilangnya persekutuan dan partisipasi dalam Allah (Calvin 1847: Kej 2:2,2.32). Melalui kemalasan dosa ingin kita terpisah dari Allah selamanya dan tidak berpartisipasi dalam pekerjaan-Nya bagi dunia ini. Cara kerjanya meningkat: tingkat 1: malas gerak, tingkat 2: keputusasaan, tingkat 3: kemalasan untuk tahu kehendak Tuhan, kebaikan bagi sesama dan bagi alam ciptaanNya. Meskipun tingkat pertama bukanlah dosa, itu berpeluang naik tingkat dan ditingkat 2 lalu 3 itulah kemalasan menjadi perbuatan dosa. From Laziness to Sloth. Tingkat pertama gampang kelihatan tapi tingkat ke-2 dan ke-3 ada di bawahnya seperti piramida terbalik.Â
Kemalasan dalam arti Sloth atau bahasa Latinnya Acedia adalah gejala dari sikap berdosa terhadap hidup, yang tidak melihat harapan dan tidak bersyukur. Acedia mengarahkan kita pada keputusasaan tetapi perlu diingat bahwa Acedia tidak sama dengan depresi, kecemasan, atau masalah kesehatan mental lainnya. Keputusasaan yang muncul dari acedia adalah wujud persetujuan manusia pada gagasan yang ditawarkan dosa bahwa sifat manusia tidak dapat bekerja sama dengan anugerah Tuhan, bahwa orang yang putus asa itu terlalu jahat untuk diselamatkan, atau bahwa Tuhan telah membuangnya. Lalu manusia lupa itu adalah penolakan terhadap kebaikan Tuhan. Itu bukan kenyataan melainkan âdunia imajinerâ.Â
Bagi kita yang juga bertanya: Apakah mager (malas gerak) itu dosa? Apakah menunda cuci piring itu dosa?â Apakah lamban mengerjakan sesuatu itu dosa? Saya jawab: Bukan, itu hanya malas biasa tetapi jangan didiamkan karena âmalas biasaâ itu juga bisa menjadi âmalas dosaâ. Anda punya tugas pribadi: cermati apakah magermu itu karena capek, ada masalah mental di sana, atau magermu itu wujud dari sesuatu yang lebih dalamya yaitu keputusasaan akan anugerah Tuhan yang mampu menyelamatkan bukan hanya nanti tetapi kini dan di sini? Apabila jawabannya âYa, saya malas karena sudah putus asa. Saya tidak lagi peduli pada hidup saya dan orang lain. Saya dan dunia ini sudah busukâ Maka kemalasan anda itu dari dosa dan merupakan perbuatan berdosa. Acedia/Sloth/Kemalasan adalah wujud keputusasaan spiritual yang membuat manusia tenggelam dalam kesedihan meratapi hidup tanpa harapan sehingga tidak lagi mau peduli pada dirinya dan pada keadaan sekitar. Apa bentuknya dalam hidup sehari-hari?Â
1) Sloth membawa manusia pada ketidakpedulian yang berarti pengingkaran pada hakikat manusia sebagai makhluk komunal dan sosial diingkari. Sloth mungkin ada pada kita yang aktif pelayanan di gereja tetapi tidak peduli pada apa yang terjadi di rumah kita apalagi peduli pada apa yang terjadi dengan orang-orang yang melayani bersama kita. Sloth mungkin ada di antara orang-orang yang menjadi penonton ketika ada aksi main hakim sendiri.Â
2) Sloth mematikan semangat untuk merayakan kehidupan lengkap dengan panggilan untuk bekerja: âUdah biasa aja, yang penting setor tugasnya. Gak usah maksimal-maksimal, paling juga nilai dari dosennya minimal. Mending cepat kirim lalu main lagiâ âDuh, besok Senin lagi, kerja lagi. Enak ya kalau tanggal di kalendernya merah terus.âÂ
Mati sebelum mati. Punya iman tapi gak ngapa-ngapain.Â
3) Sloth membuat kita hidup dalam dunia imajiner sebagai sadboy atau sadgirl yang meratap setiap malam sampai bantalmu penuh gambar bekas genangan air mata. Kamu suka sama seseorang tapi kamu berlindung di balik Fajar Sadboy quotes: âPercuma dekat kalau nggak jadian, seperti tukang fotokopi bilang ini mau ditunggu atau ditinggalâ âorang yang berjuang akan kalah kalau sama yang beruangâ laaah nembak aja beloom udah quat-quote aee. Maju! mencinta adalah hak segala bangsa kita!Â
4) Pada puncaknya, ini yang paling berbahaya dari Sloth yaitu mematikan semangat hidup dengan membangun dunia imajiner bahwa ada yang lebih baik daripada menjalani dengan sepenuh tenaga hidup ini. Sloth berkata dalam hati: Masalahmu sudah menumpuk, tidak ada jalan keluar, dunia ini sudah busuk, isinya orang-orang yang tidak mendengar dan melihatmu melainkan menghakimi. Sudahlah, akhiri hidupmu, akhiri penderitaanmu. Sloth tampak sebagai yang peduli dan menawarkan jalan keluar tetapi ia menggiringmu untuk berontak di hadapan Sang Pemilik Kehidupan dengan cara: akhiri hidupmu.Â
Sampai di sini kita tahu bahwa kemalasan dalam arti sloth, lebih dari sekadar malas atau lamban. Itu adalah dosa yang tampak menawarkan kehidupan tetapi sesungguhnya membawa pada kematian. Kita tidak bisa mengatasi dosa ini, tetapi ada Dia, yang memberi diriNya untuk mati supaya kita sungguh-sungguh hidup. Jangan lagi mengikuti dosa tetapi seperti yang dikatakan dalam Efesus 5:1-2 Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah.Â
Sloth is the avoidance of physical or spiritual work.
You're shiftless, lazy, and good fer nuthin'.
Tutupnya Seven Eleven di Indonesia
Memasuki tahun 2015, kinerja bisnis Seven Eleven mulai menurun. Saat itu, penjualan bersihnya tercatat sebesar Rp886,84 miliar. Untuk pertama kalinya, mereka menutup 20 gerainya di Indonesia.
Ada beberapa penyebab dibalik tutupnya Seven Eleven Indonesia, di antaranya:
Dikutip dari IDN Times, penurunan penjualan Seven Eleven juga disebabkan karena larangan penjualan beralkohol di minimarket. Ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minol.
Padahal, salah satu produk yang diminati di minimarketini adalah minuman beralkoholnya. Hal ini membuat pelanggan yang biasa membeli beer di Sevel beralih ke tempat lain.
%PDF-1.6
%âãÏÓ
36 0 obj
<>
endobj
46 0 obj
<>/Filter/FlateDecode/ID[<5401EF9E83470A45BEE33B7AC810E892>]/Index[36 25]/Info 35 0 R/Length 72/Prev 233562/Root 37 0 R/Size 61/Type/XRef/W[1 3 1]>>stream
hŞbbd```b``Ú
"¹Áä?ÉòD²Î’LïÀjz€$£ùC°šp ù÷ô7& [@"@1*�ÿ·|0 Hö
endstream
endobj
startxref
0
%%EOF
60 0 obj
<>stream
hŞb```¢ç̬;„@(Æ„€œÓ Ø. éÃŒ{´°©0•2Ìh˜Ÿ»
(§Ü7©oJ-‰Û´nKĞ‘¸Kç®�»�Ş‘^Ñц
5`5Èd`[# ¤9€˜ìŠ`7é?à+zÄ ÜgÀ˜Â0�Aµ�uSC$˜Áú¬RŠ�íh2�fâ? 6º;N
endstream
endobj
37 0 obj
<><><>]/OFF[]/Order[]/RBGroups[]>>/OCGs[47 0 R]>>/Pages 34 0 R/Type/Catalog>>
endobj
38 0 obj
<>/Font<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageC]/XObject<>>>/Rotate 0/Type/Page>>
endobj
39 0 obj
<>stream
H‰„V]oÓJ}÷¯ØGûÁ›�İõz!¤4)ÔŞô¶†+tÅC€¶*÷¦…ø÷œ™õGE¨Š“όϜ93îIWÅ»ÛbÖuFéUwS�RŠr�”M�^µN{¯ºmQªªûĤÈéÆ'�¨©á |ÒɪîcñoyU…ò´ªCù¦ª}şõÿR¼ËåhœWäòñŒ�o³Iü
¾1‡ñ‘ÍÏ«Ú†ò²z×½*(�nœòÄ5¼Ës\,<ù>PÚ”6è›Áû
�fD„}ÜauŞk6Ä= ê«ìŒjÁ_–
¶U�Ş…²«ˆÊÕœrv2^S¤œ/ÓY[ßj‹g ©ù9¹©é’ƒç™"NÖ•apޘtãbŸö‚ÓFíÍÈÎEU§œi-8û‚//ŠÆã⢛¤Í@íaÏ‘Ô)hCŒ8+cğ2ª¶FŠX�Åğ׈İg,óŠ[äÀM�zÀ›eú‰›nÁ›µøɨtÁѯ0&éõ]ESX§G8œ¶qÂqÚ_
‚��ƒ¾�ˇ„†³EqŞc¬WŞHö6¨Ûb¶Úµ|(ş.NºŸ�‹‹^û˜ÃÃ4/uM;qğ¥f,b¤R¹ÆLİ{¨í{Ö‘…d�:wëIZbN»Ö‰9ôY.Ñ€;Ä´»r_ùrWQoãΰúÊk4"–ÿW�ò�¯I„cáYW�HÏ$…„«(ßóßsCoÅãAP£Ö GÎEÖ ¡¸„/@Ş]7Á�®#¸GÊysÌ/1á±�jÏ�PšõÀ匚"P‘ÔÌ•b»P›=¶Œ˜ §_ØãIïi¤Œ(WÍUF¹:ä˜ï½Ü�&ùF§ay<.àÖêÔ6ÓèÿN¿Ù‚™-’,”òò÷Óx�İhgæ°c™Ñ>¯ñ9“Fçi}ÛÏV<¥ãÙå´JpK½k�iÖBfr�lG’¥DºE{¶CnÜzÚ
/*thÅâ{%3´‹ş=`å”7+fÏPÛ§Ÿÿ²3¨a÷,úЃ´æçœ>¿wÄ�_K~Û¯¥7•=ª‹²óÀ�”ÙD�èx2 û4¶vlH®3v.oÆ2•cQ4ç
˜‘Ö¥‚¢"¿*fG周¯´Ù|·¿»Ù|Ø«§OgWßŞï¿¾V³6ûëİv³ûOÍ:1\lnïî7û»‡{õìÙÉr¡°'nÛZëeî¦^2¶Á¦D³|ãšèx;…!^\áëk1{>lÊÓsdú!À ñ‘¼ß
endstream
endobj
40 0 obj
<>stream
hŞÌ˜_oÛ6À¿
»WÿJ@ qoØšuÖ(ú :‚#Ì–
IAÓoß»IÓª§¶ÖÀ�'Şu$�?1Q–q¦2–ÊŒ©œ¥YÊ4gR)¦Sè´‚iÁR�¦%KM–3˜°ú5™wÃ$'m™â ş9´V²W¯’ëb]¾øPte³.šKn¿nËäf:Kşn‹e —�ÛMÓeŞ�ors}v–¼‡ËU¹.k4Ï>w{5CSSQ'µQÈûªüİØìzñ�ÓsÆ_¦9ülŸÅåc7ë½E0‘ëy»€—2“ËdZl/«å=<‘¼.{ËD¤&¹ZË–I‘\mêîâbóøq¢MÆ&’[&8ç,åÜ~"+®Br[Ëöºüòn³.ê·ó7·É]±ªçõrU2�Ì»rı�e.;Ã×5Õ¶Û4É?.¥ Å�ÖfìgŠÀB‘wj†“dğŒ¶4ëm(d3*øc+ì.æ˜ /ùÃ^h.R†…hŒ%!=…„ŠD…r€¢õ¶Ìé}›�:Ú½-‡ñ½�ı”7ä@ó59åE:Ğã6Ì9ÎİéöÀ¼}�ñšP~NÇ1¬§@Z íbİšz¿”î;ğŒÂÎ#hFzígBÙ»‘)
9n%âÖâ’êşU¨‹èõ{[e`
Nİ„2ğ}”2öv$ú:
¾JË�õ§nYôNT´ECÁ‰RYÀDc c:‹§å7ããゆ9 øîCı¾â²•;Ÿ SE["&�å²^lîªz™|¨êóºÂóUÕ´İô¾h 8ûˆÁo gï’¿
ç ´Ô½mJÂR`Œ|×İ·øÉ€¨=lZ{›ÂˆÔš�z�ÂŒ£sr±Yİ�ğ35úi€ê_ >¥~WéØemÂñ²üd‚†q,ß ôç’Ú¹cã“Ä£OGt´2â³÷sG"‡TÓ5#bB]÷‡§gN÷öãåmC„ÊΟàÔjÁ"4ìÀ(B{,"CqJ††¨!C{åG!*"ˆ*K ô•àû�‚¨V|¢ò{ˆêh“†vĞ`½ĞD" Aj“õ%2ÿ±+[ôy6EÇÆñu•dóE=dNA)܉OA©<¥Bñ¥P„ÒTq¸És)� ´çè ¨xÁ3‘*ó_©H¬©şNú5“ûÇex?�‰êIßIıtx'Åçá¥f¨–ïuìNê úİ�tp|üÑÎæ/5a<´ÃŸ�TÕóÓ€š»;ç¡;é�ñŸq”PGx*L?gÃÍóxÊwõâm‡x:Ä¥—Üá³qzèâiù(J §OÔì‰Ó¨Ö�â4€æ$¨ê“ jTÿd¸%sğ.êv[4e½øÚGÌšÍÖœn¦³–)K¯rÿ¬xóúìì› ûÔV
endstream
endobj
41 0 obj
<>stream
xÚì½ Œ×•.\ D¡@� Q$ÁÙİfKi¡õ
é ’!K²[ÖHO¶,y“÷İ–·$Şï‰“8qï»Çv¼ÆYÇ–%yw[ÖÚ×ZéâÔ+T¡–©ªÿœ[-Y^2oşy˜73 /®JE6÷ºç»ßwιçú~¿ı£7Ïó¾~§ëº_úëaq§ÿ£õ[¿õ›GÚ¿ş€CHò ±mûo�O¿õ[¿ı£!‰K¡Ğñdß¾}µZíŠ+¶º®ı·ĞæëğÒoıÖoÿàpâØ&o¼ñûÑh4‹%ÌÙgŸ)ËòW$O@EúŠ¦ßúßg€ †a\tÑE…b!‘HPÅ0L2™<¹õöÛ¾‚}ÓoıÖo‡`! àÙl ƒ¦™tš>¢FÓ4ÜH …À'ï¼óN_Åô[¿õÛA¿Ç—èÄ/~ñ‹Z
A#™L‹ŠFbÅb9•ÊÄãp70“ùßš¯(JŸ‡ô[¿õ1ä�hµZ@? &b±x8…"™L!D…£1:‰Æâx$‚î5¡P謳Îzã�7ú?b¿õÛß};¨8\DZ£sÆõ×÷�}öÙù#£‘p$™H%™xŒ‰„cápô˜ooxıÍ÷.»â»T(ôH‚H<–f3…Rî¹îºëD^ğ¿ˆå|ÁK¾‘¡ôåO¿õÛunAL÷�Ä8ÌfçàÃs\r¿M`Ä2Lıúïß #“a‰t<ÎÄ¢4H˜p(zåÖïZ¦/ªmû—\º5‘D�E#ÀCÂÀM"Édî¹úÊ«>—äCïÑoıÖo—Àâù.vÏ!‰pnÁq÷gŸm�‚Z¡ÙB%�dÙÂûï~ˆ ´xµ§iª/ò›�_¾j%}J±™T:O¬Õj¸‰3·Üt³®éäà-¼ £½û!·m?ÜoıößE¼Àñp‡'¹3à$�ëXæÌå[/İæÁ$ 7±x4‘¤Â‘3νpÏŞIIêÊ R,‹kÌô$è‹nèºe>ñÌÓ™\‘„n�™DbÑp4
�}ktç�·LCÿFom¿õ[¿ı÷,[‘»çŸ}N, ‡B@$"€ t"�G“,�+oûøÓ=3
à
<Ï·fg,Uá¦XšbhŠ¢*–먺Şèp�<ú8P`$“I%Y†fàµ:^(䮼ê2ÂsN2—ßÇ“~ë·ÿvTäKöKDÌÎío/^´„Dl£ @RÉLŠ-Páh4Á�¹ò£©ÙOfëŠi59ŞĞ5M‘�®äjŠ®ğ¾£óBK³ô©úl›ët•Ş�î¸s°
B&0²…|®”L¦"‘H"ÁdØôØÂÑÉÉıs*ê°|�¾gµßúí¿²ëÃÿrºmYívû˜c�
‡#`òĞ‘{Dãáp”¢ÂrûÏï™äÍ÷·}ô¯ÊÓÍ©ıvû®µí¯�²şøk®¸xjÿ§®g:®y`j¿(òğ²SSS{÷M]uõ5åÊP($I¥³qLKK’ÄbQPIË–-ûä“Oi«şÕé·~ûoÑú-L]¿üòˉf‰‚¥ƒqÓtŠf2á
è�%Ön8é©g_è™VG‘µ+©R·'èz^æwş˜�Eñh$L%˜Øş²Ñœ²m]鉓S{,K“º¢í:|íõ+W…#Q*Œù#Ñ:X‰T,§i�dáÿXøÂ/hš��¾[µßúí?šE~>w<è£ÄÙÜ;”�ñÕ�svqígŸyjb|!EQ©d*§#áh6WŠÓ,�SáXĞãÄÓ>ül¯áûŠ¦š®%)ÜäÔgº.iª¸ûÓ6oÚ Àƒ.Óh´ ğ—Pˆ:ÿü-–¥z�Æ‹“Rw¦Ù9 éŠéÓ�úw¯»�Ie0(LèM8„œ'�Ê�À3C¡0àÉèè‚Ï>ğ1çÂDABÉaˆâ}Óïğ·~¥>±é·~ûši|É|ÙHpâ4Lğ ´¿qí&’íØñÖØ‚Q0 ™LªP,€ıEˆDéP8Ædʛϸ`營'P
k÷ş}õæ´$·fgwû¾¦)[~ğ�îQ)@’@§éx*�É!ĞO,xú©ûlG6mÑóÕzs¯ªIb·Ã �Ï=şÄScÆ£‘x<ÆÀ‘¡“ÑhèI ¡H§
…Â}÷İ'‹’k{‡PWğG†/�äÿgºÚ7BPߣÛoÿ(Hâ|É4Ü/ç{†óE埀�x®ïØ}ÿı
k×dsir eX¶P,§Òl̘Æ|õP8râ¦ÓŞÜñN“ãáy�%ÁsMÇÙºäÛÊÛoınÙ’abê4H˜H¨ P¸E$RȲÕRD
üuú£?şh›¡q€C3³Ÿ4›{…“ä�(òõzı�7ŞX±be6›‡Ãdá^šˆ\n¨*‚F!†f.¾ğ²İ»ö9ÎáyqŞ×=±‡¾û\níAôp¼/�ÛG‰~ë·o2îa¹_f)ˆ!–®Mîİ3T)FÃ!z�3¤ĞZã4hŠXs?"±øñëOxõ�¯i†n˜º¢ˆ¶®ÙºÚm7º�YMn}öÑö«/=;AG¢a*�¤3@DÀÖ#¡R)•JF4€–DBÜ—M§ØT
î™ÄÀ¶×_é´ö8–ä9İ]»ŞÙ·ïCÓìy�nèjO•_ıµ+–G�„€¶ §ˆÒ‰ÁJ$‰‚~²(O>öØ >‡0äßȼ›êé·~ûÇiÁûå�ïÎå¨{ı Ä“àZæK¿yf¨R¦mEÁşCT8f³ùXiÿ
¯8�5'pğÔ|î™gkƒÕh8‹D�pÄ�€PÈ‹µ*$™á£‹–¬¼òê›zôAÖLËk4†©Ù¶^¯ï34É5d_SÄ™/>õÄèĞ xŒ™¼& I!Ë F04uÓM+w}vÇÓ¿>}õ·éT©Hš�ÅIƘx$ZL³£GÃs—.}{Çï|¿§k
„‘ú®™©¿vź"µ:íÙ�"Õg'Ÿzòñ“O>`„šk¡XœI&p‘N¹4X©TAæ>r‚ÿç}kôÚënx늢ú}'j¿õÛß ã‡n É¡Ü0ËÔõ™Ç~håŠå•ba|Áh�e‰¸Àõù`òt,�J$¢d€H˜µë7<ôğ{öN©ªá:¾
–ê /¸ÖŒ,´lSõ,õÓ¶?zÏ�µ¾T
Kami mohon maaf atas kebingungannya, tetapi kami tidak bisa tahu apakah Anda adalah seseorang atau skrip.
Centang kotak ini dan kami akan berhenti menghalangi Anda.
We are operating 78 table games (Baccarat, Black Jack, Poker, Roulette, etc.), 108 up-to-date machine games and 45 electronic tables on three floors (surface area of 6,094㎡). Gangnam COEX Branch of Seven Luck Casino is located nearby various entertainment facilities such as COEX Center, luxurious hotels, duty-free shops, large-scale movie theater and department stores. Visitors can fully enjoy tour and shopping experience.
Rasakan mesin slot Korea yang berbeda.Sangat menarik dengan berbagai acara.* Nikmati kesenangan asli dari mesin slot Korea.: http://www.gameboys.co.kr- Bonus Bingo: Ketika bingo selesai, semanggi disediakan.- Panggung Ganda: X2 ~ X5 kali jumlah poin yang diperoleh.- Bonus Misi: Jika Anda melakukan misi selama permainan, Anda akan menerima uang permainan.- Dalam game mini game: Tujuh Kaya, Tinggi & Rendah, Jack Hitam.- Putaran gratis: Ketika kondisi tertentu selesai, 50 putaran gratis disediakan.- Situs web: https://www.bsmobile.netTerima kasih.
Set of vices in Christian theology
The seven deadly sins (also known as the capital vices or cardinal sins) function as a grouping classification of major vices within the teachings of Christianity.[1] According to the standard list, the seven deadly sins in Christianity are pride, greed, wrath, envy, lust, gluttony, and sloth.
In Christianity, the classification of deadly sins into a group of seven originated with Tertullian, and continued with Evagrius Ponticus.[2] The concepts of the sins involved were in part based on Greco-Roman and Biblical antecedents. Later, the concept of seven deadly sins evolved further, based upon historical context based upon the Latin language of the Roman Catholic Church, though with a significant influence from the Greek language and associated religious traditions. Knowledge of the seven deadly sin concept is known through discussions in various treatises and also depictions in paintings and sculpture, for example architectural decorations on certain churches of certain Catholic parishes and also from certain older textbooks.[1] Further information has been derived from patterns of confessions.
Subsequently, over the centuries into modern times, the idea of sins (especially seven in number) has influenced or inspired various streams of religious and philosophical thought, fine art painting, and modern popular culture media such as literature, film, and television.
Historical and modern definitions, views, and associations
According to Catholic prelate Henry Edward Manning, the seven deadly sins are seven ways of eternal death.[18] The Lutheran divine Martin Chemnitz, who contributed to the development of Lutheran systematic theology, implored clergy to remind the faithful of the seven deadly sins.[19]
Listed in order of increasing severity as per Pope Gregory I, 6th-century A.D., the seven deadly sins are as follows:
Lust or lechery is intense longing. It is usually thought of as intense or unbridled sexual desire,[20] which may lead to fornication (including adultery), rape, bestiality, and other sinful and sexual acts; oftentimes, however, it can also mean other forms of unbridled desire, such as for money, or power. Henry Edward Manning explains that the impurity of lust transforms one into "a slave of the devil".[18]
Lust is generally thought to be the least serious capital sin.[21][22] Thomas Aquinas considers it an abuse of a faculty that humans share with animals and sins of the flesh are less grievous than spiritual sins.[23]
Gluttony is the overindulgence and overconsumption of anything to the point of waste. The word derives from the Latin gluttire, meaning to gulp down or swallow.[24] One reason for its condemnation is that the gorging of the prosperous may leave the needy hungry.[25]
Medieval church leaders such as Thomas Aquinas took a more expansive view of gluttony,[25] arguing that it could also include an obsessive anticipation of meals and overindulgence in delicacies and costly foods. Aquinas also listed five forms of gluttony:[26]
In the words of Henry Edward Manning, avarice "plunges a man deep into the mire of this world, so that he makes it to be his god".[18]
As defined outside Christian writings, greed is an inordinate desire to acquire or possess more than one needs, especially with respect to material wealth.[27] Aquinas considers that, like pride, it can lead to evil.[28]
Sloth refers to many related ideas, dating from antiquity and including mental, spiritual, pathological, and physical states.[29] It may be defined as absence of interest or habitual disinclination to exertion.[30]
In his Summa Theologica, Saint Thomas Aquinas defined sloth as "sorrow about spiritual good".[28]
The scope of sloth is wide.[29] Spiritually, acedia first referred to an affliction attending religious persons, especially monks, wherein they became indifferent to their duties and obligations to God. Mentally, acedia has a number of distinctive components; the most important of these is affectlessness, a lack of any feeling about self or other, a mind-state that gives rise to boredom, rancor, apathy, and a passive inert or sluggish mentation. Physically, acedia is fundamentally associated with a cessation of motion and an indifference to work; it finds expression in laziness, idleness, and indolence.[29]
Sloth includes ceasing to utilize the seven gifts of grace given by the Holy Spirit (Wisdom, Understanding, Counsel, Knowledge, Piety, Fortitude, and Fear of the Lord); such disregard may lead to the slowing of spiritual progress towards eternal life, the neglect of manifold duties of charity towards the neighbor, and animosity towards those who love God.[18]
Unlike the other seven deadly sins, which are sins of committing immorality, sloth is a sin of omitting responsibilities. It may arise from any of the other capital vices; for example, a son may omit his duty to his father through anger. The state and habit of sloth is a mortal sin, while the habit of the soul tending towards the last mortal state of sloth is not mortal in and of itself except under certain circumstances.[18]
Emotionally, and cognitively, the evil of acedia finds expression in a lack of any feeling for the world, for the people in it, or for the self. Acedia takes form as an alienation of the sentient self first from the world and then from itself. The most profound versions of this condition are found in a withdrawal from all forms of participation in or care for others or oneself, but a lesser yet more noisome element was also noted by theologians. Gregory the Great asserted that, "from tristitia, there arise malice, rancour, cowardice, [and] despair". Chaucer also dealt with this attribute of acedia, counting the characteristics of the sin to include despair, somnolence, idleness, tardiness, negligence, laziness, and wrawnesse, the last variously translated as "anger" or better as "peevishness". For Chaucer, human's sin consists of languishing and holding back, refusing to undertake works of goodness because, they tell themselves, the circumstances surrounding the establishment of good are too grievous and too difficult to suffer. Acedia in Chaucer's view is thus the enemy of every source and motive for work.[31]
Sloth subverts the livelihood of the body, taking no care for its day-to-day provisions, and slows down the mind, halting its attention to matters of great importance. Sloth hinders the man in his righteous undertakings and thus becomes a terrible source of human's undoing.[31]
Wrath can be defined as uncontrolled feelings of anger, rage, and even hatred. Wrath often reveals itself in the wish to seek vengeance.[32]
According to the Catechism of the Catholic Church, the neutral act of anger becomes the sin of wrath when it is directed against an innocent person, when it is unduly strong or long-lasting, or when it desires excessive punishment. "If anger reaches the point of a deliberate desire to kill or seriously wound a neighbor, it is gravely against charity; it is a mortal sin". Hatred is the sin of desiring that someone else may suffer misfortune or evil and is a mortal sin when one desires grave harm.[33]
People feel angry when they sense that they or someone they care about has been offended, when they are certain about the nature and cause of the angering event, when they are certain someone else is responsible, and when they feel that they can still influence the situation or cope with it.[34]
Henry Edward Manning considers that "angry people are slaves to themselves".[18]
Envy is characterized by an insatiable desire like greed and lust. It can be described as a sad or resentful covetousness towards the traits or possessions of someone else. It comes from vainglory[35] and severs a man from his neighbor.[18]
According to St. Thomas Aquinas, the struggle aroused by envy has three stages: during the first stage, the envious person attempts to lower another's reputation; in the middle stage, the envious person receives either "joy at another's misfortune" (if he succeeds in defaming the other person) or "grief at another's prosperity" (if he fails); and the third stage is hatred because "sorrow causes hatred".[36]
Bertrand Russell said that envy was one of the most potent causes of unhappiness, bringing sorrow to committers of envy, while giving them the urge to inflict pain upon others.[37]
Pride, also known as hubris (from Ancient Greek ὕβρις) or futility, is considered the original and worst of the seven deadly sins on almost every list, the most demonic.[38] It is also thought to be the source of the other capital sins. Pride is the opposite of humility.[39][40]
C. S. Lewis writes in Mere Christianity that pride is the "anti-God" state, the position in which the ego and the self are directly opposed to God: "Unchastity, anger, greed, drunkenness and all that, are mere fleabites in comparison: it was through Pride that Lucifer became wicked: Pride leads to every other vice: it is the complete anti-God state of mind."[41] Pride is understood to sever the spirit from God, as well as His life-and-grace-giving Presence.[18]
One can be prideful for different reasons. Author Ichabod Spencer states that "spiritual pride is the worst kind of pride, if not worst snare of the devil. The heart is particularly deceitful on this one thing."[42] Jonathan Edwards said: "remember that pride is the worst viper that is in the heart, the greatest disturber of the soul's peace and sweet communion with Christ; it was the first sin that ever was and lies lowest in the foundation of Lucifer's whole building and is the most difficultly rooted out and is the most hidden, secret and deceitful of all lusts and often creeps in, insensibly, into the midst of religion and sometimes under the disguise of humility."[43]
The modern use of pride may be summed up in the biblical proverb, "Pride goeth before destruction, a haughty spirit before a fall" (abbreviated "Pride goeth before a fall", Proverbs 16:18). The "pride that blinds" causes foolish actions against common sense.[44] In political analysis, "hubris" is often used to describe how leaders with great power over many years become more and more irrationally self-confident and contemptuous of advice, leading them to act impulsively.[44]
Acedia is the neglect to take care of something that one should do. It is translated to apathetic listlessness; depression without joy. It is related to melancholy; acedia describes the behaviour and melancholy suggests the emotion producing it. In early Christian thought, the lack of joy was regarded as a willful refusal to enjoy the goodness of God. By contrast, apathy was considered a refusal to help others in times of need.
Acēdia is the negative form of the Greek term κηδεία (Kēdeia), which has a more restricted usage. "Kēdeia" refers specifically to spousal love and respect for the dead.[45]
Pope Gregory combined this with tristitia into sloth for his list. When Thomas Aquinas described acedia in his interpretation of the list, he described it as an "uneasiness of the mind", being a progenitor for lesser sins such as restlessness and instability.[46]
Acedia is currently defined in the Catechism of the Catholic Church as spiritual sloth, believing spiritual tasks to be too difficult.[47] In the fourth century, Christian monks believed that acedia was primarily caused by a state of melancholia that caused spiritual detachment instead of laziness.[48]
Vainglory is unjustified boasting. Pope Gregory viewed it as a form of pride, so he folded vainglory into pride for his listing of sins.[10] According to Aquinas, it is the progenitor of envy.[35]
The Latin term gloria roughly means boasting, although its English cognate glory has come to have an exclusively positive meaning. Historically, the term vain roughly meant futile (a meaning retained in the modern expression "in vain"), but by the fourteenth century had come to have the strong narcissistic undertones which it still retains today.[49]
According to a 2009 study by the Jesuit scholar Fr. Roberto Busa, the most common deadly sin confessed by men is lust and the most common deadly sin confessed by women is pride.[50] It was unclear whether these differences were due to the actual number of transgressions committed by each sex or whether differing views on what "counts" or should be confessed caused the observed pattern.[51]
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Nanatsu no Taizai (Jepang: 七つの大罪), yang diterbitkan di Indonesia dengan judul Seven Deadly Sins, adalah sebuah seri manga shōnen Jepang bergenre fantasi yang ditulis dan diilustrasikan oleh Nakaba Suzuki. Manga ini dimuat berseri dalam majalah Weekly Shōnen Magazine terbitan Kodansha sejak bulan Oktober 2012 hingga Maret 2020, dan bab-babnya telah dibundel menjadi empat puluh satu volume tankōbon. Manga ini menampilkan latar yang mirip dengan Eropa pada Abad Pertengahan, dan kelompok utamanya merupakan para ksatria yang melambangkan tujuh dosa besar.
Manga ini telah diadaptasi menjadi seri anime sebanyak tiga musim yang diproduksi oleh A-1 Pictures dan Studio Deen. Sebuah film berjudul The Seven Deadly Sins the Movie: Prisoners of the Sky ditayangkan perdana pada tanggal 18 Agustus 2018.
Manga ini telah dilisensi oleh Kodansha USA untuk diterbitkan dalam bahasa Inggris di Amerika Utara, sementara bab-bab tunggalnya dirilis secara digital oleh Crunchyroll di lebih dari 170 negara secara serentak ketika dirilis di Jepang. Netflix memperoleh hak streaming eksklusif bahasa Inggris untuk seri anime-nya, sedangkan Funimation saat ini memiliki hak distribusi video rumahannya.
Hingga tahun 2018, Seven Deadly Sins telah terjual sebanyak lebih dari 30 juta kopi dalam sirkulasi. Manga ini memenangkan Penghargaan Manga Kodansha ke-39 untuk kategori shōnen pada tahun 2015.
Seven Deadly Sins dahulunya merupakan sebuah kelompok aktif yang terdiri dari para ksatria di wilayah Britannia (ブリタニア, Buritania), yang dibubarkan setelah mereka dituduh akan menggulingkan Kerajaan Liones (リオネス王国, Rionesu Ōkoku). Mereka disebut-sebut dikalahkan di tangan para Holy Knight (Ksatria Suci), namun berbagai rumor terus menyebut bahwa mereka masih hidup. Sepuluh tahun kemudian, para Holy Knight merencanakan kudeta dan menangkap sang raja, dan menjadi para penguasa tiran di kerajaan. Sementara itu, putri ketiga raja Liones yaitu putri Elisabeth tidak sengaja mendengarkan rencana tentang kudeta yang diusung oleh kesatria suci. Raja pun memintanya untuk pergi mencari Nanatsu dan 6 kesatria lainnya untuk menghalangi rencana kudeta tersebut dan mengalahkan musuh kerajaan yang sebenarnya dan memohon bantuan kepada mereka untuk merebut kembali kerajaan dari para Holy Knight.
Strategi pemasaran yang tidak tepat
Model penjualan yang digunakan oleh Seven Eleven adalah minimarket premium dengan kafe dalam satu tempat, namun ini kurang pas dengan pasar Indonesia.
Mengutip halaman Strategi Manajemen, Sevel mungkin menjadi contoh penerapan strategi produk stuck on the middle. Ingin menghadirkan layanan premium seperti Starbucks, tidak bisa dan ingin menggunakan prinsip supermarket yang efisien seperti Indomaret, namun terlanjur memberi kesan premium produknya.
7 Eleven menyediakan berbagai jenis snack, kopi, makanan berat yang perlu dipanaskan, dan lainnya. Namun, hal ini malah menjadi boomerang tersendiri bagi Sevel, yang mana pada kenyataannya daya beli masyarakat rendah.
Banyak kalangan muda yang datang ke Seven Eleven untuk nongkrong berjam-jam hanya dengan membeli soft drink. Sehingga pendapatan yang masuk tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan.
Memang awalnya, Sevel mengharapkan pelanggan yang datang akan membeli makanan premium yang mereka jual sambil nongkrong seperti di kafe pada umumnya. Namun kenyataannya tidak seperti itu, pelanggan yang datang hanya berjumlah sedikit, berbanding terbalik dengan jumlah anak muda yang nongkrong berjam-jam meski hanya membeli snack atau soft drink saja.
Tingginya biaya operasional dengan pemasukan yang sedikit
Biaya yang harus dikeluarkan Sevel sangat besar, namun pemasukan yang didapatkan sedikit. Sebagai contoh, biaya yang harus mereka keluarkan untuk memanaskan makanan sangat tinggi namun pembelinya sedikit. Akibatnya, banyak makanan yang dibuang karena tidak terjual.
Selain itu, Seven Eleven juga harus menyewa lahan luas di lokasi yang strategis. Ini tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, karena memang Sevel ingin menyediakan tempat nongkrong untuk para pelanggannya.
Beberapa penyebab tersebut membuat 136 gerai Seven Eleven harus tutup di Indonesia pada tahun 2017. Ditambah, ketatnya persaingan dalam bisnis ini membuat Sevel gagal beradaptasi karena kompetitor hadir menawarkan harga yang lebih terjangkau dengan bangunan yang cukup luas sebagai daya tariknya.
Memang, Sevel menawarkan konsep minimarket yang unik untuk memanjakan pelanggannya dengan nongkrong kapan saja sehingga banyak ditiru oleh minimarket lain di Indonesia. Namun sayang, Sevel terus bertahan dengan konsep tersebut tanpa mengeluarkan inovasi baru sebagai pembeda dengan minimarket lain.
Baca Juga: 5 Contoh Waralaba Indonesia Yang Telah Mendunia Hingga Amerika!
Itulah beberapa informasi penting mengenai perjalanan Seven Eleven di Indonesia yang perlu kamu ketahui.
Banyak pelajaran yang bisa kamu dapatkan dari kasus tersebut, misalnya jika ingin bisnis terus berkembang, inovasi adalah satu hal yang wajib diperhatikan. Kamu bisa melakukannya dengan mengembangkan cara atau sistem bisnis dari tradisional menjadi digital.
Dalam hal ini, tidak perlu memikirkan teknologi yang rumit, kamu bisa melakukannya dengan membuat invoice secara otomatis. Invoice digital dapat membantu kamu meningkatkan efisiensi bisnis karena prosesnya jauh lebih mudah, misalnya dengan menggunakan Paper.id.
Paper.id adalah platform invoicing dan pembayaran yang akan mempermudah kamu dalam pembuatan invoice antar bisnis secara praktis.
Bukan hanya membuat invoice dengan mudah, kamu juga bisa terima pembayaran secara digital dengan berbagai metode, seperti transfer bank, virtual account, marketplace, dan kartu kredit sekalipun tanpa harus menggunakan mesin EDC fisik.
Bagaimana, menarik sekali untuk pebisnis masa kini, bukan? Yuk gunakan Paper.id sekarang. Gratis, lho!
Content Writer dengan 4 tahun pengalaman menangani konten beragam topik di berbagai industri baik B2C dan B2B, termasuk bisnis, ekonomi, keuangan, dan sebagainya. Saat ini menulis di Paper.id untuk memperkaya wawasan pemilik bisnis dan memajukan industri B2B seluruh Indonesia.
Latest posts by Nadiyah Rahmalia
Era Keemasan Seven Eleven Indonesia
Seven Eleven merupakan jaringan ritel 24 jam asal Amerika Serikat yang berdiri sejak tahun 1927. Gerai ini mulai mendunia pada tahun 2008 saat dilakukan penandatanganan Letter of Intent Master Franchise Sevel di Dallas, Amerika Serikat.
Selang satu tahun, Seven Eleven masuk ke Indonesia dibawah PT Modern Putraindonesia, tepatnya pada 7 November 2009 dengan gerai pertamanya di Bulungan, Jakarta Selatan.
Tampilan fisik serta produk-produk yang dijual Seven Eleven memang memiliki ciri khas minimarket. Namun, untuk bisa buka selama 24 jam, mereka harus menggunakan izin restoran.
Kemudian manajemen pun menambahkan makanan cepat saji, lengkap dengan meja dan kursi untuk pelanggan menikmatinya. Produk khasnya yaitu Slurpee, sejenis minuman es dan Big Gulp, yang merupakan minuman soft drink berukuran besar.
Nah, konsep tersebut cukup diterima oleh masyarakat khususnya kalangan muda.
Hingga pada masa kejayaannya, melansir halaman Katadata, Seven Eleven membuka 30-60 gerai baru di Jakarta. Bila tahun 2011 hanya terdapat 50-an gerai, tahun 2012, jumlahnya bertambah hampir dua kali lipat yaitu 100 gerai, sampai Desember 2014 gerainya pun bertambah lagi menjadi 190 gerai.
Penjualan bersih 7 Eleven di tahun 2014 naik 24,5% dari tahun sebelumnya yaitu Rp778,3 miliar menjadi Rp971,7 miliar. Dapat dikatakan, tahun itu menjadi masa keemasan Seven Eleven di Indonesia.
Origin of the currently recognized seven deadly sins
These "evil thoughts" can be categorized as follows:[3]
The fourth-century monk Evagrius Ponticus reduced the[which?] nine logismoi[clarification needed] to eight, as follows:[4][5]
Evagrius's list was translated into the Latin of Western Christianity in many writings of John Cassian,[7][8] thus becoming part of the Western tradition's spiritual pietas or Catholic devotions as follows:[3]
In AD 590, Pope Gregory I revised the list to form a more common list.[9] Gregory combined tristitia with acedia and vanagloria with superbia, adding envy, which is invidia in Latin.[10][11] (It is interesting to note that Pope Gregory's list corresponds exactly to the traits described in Pirkei Avot as "removing one from the world." See Pirkei Avot 2:11, 3:10, 4:21 and the Vilna Gaon's commentary to Aggadot Berakhot 4b.)[12] Thomas Aquinas uses and defends Gregory's list in his Summa Theologica, although he calls them the "capital sins" because they are the head and form of all the other sins.[13] Christian denominations, such as the Anglican Communion,[14] Lutheran Church,[15] and Methodist Church,[16] still retain this list, and modern evangelists such as Billy Graham have explicated the seven deadly sins.[17]